Pusat Pelayanan:

Jadi Tiang, Dinding, Mobil Atau Pagar

Wajib Baca

Oleh: Darwin a.k.a. Darul Quthni, Guru Al Manar sedang Menempuh Pendidikan di Al Azhar Kairo Mesir

1.

Kesedihan beranak pinak di dadaku, Kekasih. Dengan ingatan masa lalu seperti angin dan ketakutan terhadap rencana-rencana jahat. Semakin dalam kuingat kematianmu, semakin diriku dikandung dendam kesumat yang terkadang menjalar ke gigi, ke mata, ke telinga, dan ke tangan. Kini aku selalu memikirkan jalan keluar yang ringkas agar lekas mengatur ulang pola makan yang belakangan ini kurasa kacau.

Betapa indah kehidupan jika bersamamu, Kekasih. Aku bisa makan mi instan bikinanmu. Minum kopi seduhanmu. Menahan kerokan koinmu. Nonton sinetron kesukaanmu. Tersesat di kota bersamamu, dan cium kening anak kita yang tengah kaukandung saat itu, “Keningnya di sini.” Katamu padaku sambil menunjuk ke bawah pusar.

Lalu kepada apakah kita menyerah, Kekasih? Kita menikah di usia masing-masing tiga puluh dan ada banyak persimpangan yang hendak kita lewati bersama. Seseorang akan memanggilku dengan sebutan ‘ayah’ dan kau adalah ibunya. Kubayangkan diriku berkeringat membesarkannya dan menjadikannya kuat seperti gaung doamu. Tetapi, tak terelakkan lagi, sebab kepada kematianlah kita menyerah. Tak ada yang dapat memisahkan kita kecuali jerat kematian.

Berbulan-bulan aku berlari dan berhenti di rumah-rumah besar dan meloloskan wajahku melalui celah pagar, atau hanya menengok ke pekarangan—berdiri jauh dari pagar. Di antara pencarian itu aku berhenti di kaki lima dan berharap sebuah Corolla putih muncul serta sebuah wajah kikuk di belakang kemudinya yang masih akan kukenali sampai kapan pun. Tetapi kerapkali aku merasa kesal melihat jalanan kosong yang seperti mencemooh diriku.

“Dua belas ribu, Pak.” Kata penjual nasi goreng di kaki lima itu. Dia melihatku berdiri dan siap untuk pergi.

Lalu kutatap dia seperti dia menatapku. “Ini dua puluh ribu. Anggap saja pas.”

Aku berjalan lagi melewati siang dan malam dan tak memikirkan apa-apa lagi kecuali menemukan Corolla putih itu lalu pulang dengan pikiran setenang batu. Aku tak peduli kepada kepedulian polisi yang menyisir TKP lalu hilang di balik rumah makan padang. Aku tak peduli kepada wartawan yang sibuk meliput berita kematianmu. Aku tak peduli kepada rumah kita karena tidak ada lagi kau, Kekasih. Aku hanya berdua dengan pikiranku tentangmu dan keadilan atasmu.

Aku tahu kau akan memaafkan laki-laki itu. Tetapi aku tidak pernah berpikir untuk memaafkannya; aku melihatnya melarikan mobil dengan kecepatan tinggi dan menghantammu—padahal berdiri empat langkah dari batas jalan—dan menumbangkanmu jauh ke balik semak. Aku berlari ke balik semak itu dan melihat tubuhmu menelungkup dan dilumuri darah. Gemetar tanganku saat akan menyentuh wajahmu. Rasanya ada seribu tangan yang memukul hatiku. Batang kaki yang tiba-tiba seperti ditarik oleh bumi. Bola mata yang seakan-akan dipanggang api. Segala sesuatu terjadi dalam waktu amat sangat cepat, begitu juga pemandangan perutmu yang kemudian membunyikan genderang perang di kepalaku. Kelak orang-orang akan tahu, amat besar dendamku saat kudapati kematian berdiri tegak di sampingmu.

Satu dua orang kemudian keluar dari warung dan menyusulku ke pinggiran itu dan turun ke semak membantuku mengangkat tubuhmu. Obat kecoa yang tadi kutenteng dari warung, kuhempas dan hingga kini tak tahu di mana ia jatuh. Laki-laki dalam Corolla itu, yang menghabisimu, setelah cukup tahu apa yang tengah terjadi, segera melejit ke jalan dan melarikan mobilnya seperti dikejar rombongan pencabut nyawa. Tiga orang lain yang keluar belakangan tiba-tiba berteriak, “Kejar… kejar… mabuk itu!”

“Cepat panggil ambulan,” Salah satu dari mereka berkata padaku sambil menyalakan motor, sebelum akhirnya melejit pula ke jalan. Setelah mereka sudah cukup jauh aku membalas sarannya, “Istri saya sudah tidak ada, Pak.”

Kekasih… aku melihat bagaimana orang di belakang kemudi itu melarikan diri. Melihat wajah kikuknya. Mengingat warna mobilnya. Mengingat pelat nomornya. Tetapi yang paling menyedihkan dari kekalutan itu aku harus mengingat bahwa hari itu adalah hari kematianmu. Kautahu, kematian adalah kenangan paling buruk jika seseorang tak merelakannya. Sebab itulah, aku tak akan pernah bisa melupakan laki-laki itu untuk pembalasanku. Tak akan pernah bisa memaafkannya. Aku menjadi pendendam karena ia merusak jalan hidupku dan membunuh anakku.

2.

“Pelat nomornya D 2013 BTA,” kataku kepada seorang polisi paruh baya.

“Baiklah. Ini kasus tabrak lari. Kami akan lakukan pencarian.”

Lalu aku mengatakan kepada polisi itu bahwa aku melihat wajah si laki-laki dan meminta agar dilakukan sketsa wajah. Tetapi ia mematahkan gairahku.

“Tak apa, tak usah. Pelat nomor sudah cukup. Ini bukan kasus orang hilang.”

“Tapi ini jatuhnya penghilangan nyawa, Pak.”

Polisi itu hanya menepuk pundakku lalu berbalik dan beranjak pergi dengan dua rekan lainnya. Aku jengkel setengah mati menyaksikan perlakuan polisi malas itu kepadaku.

Beberapa lama setelah itu, di salah satu ruang tunggu di rumah sakit, aku dihampiri seorang wartawan. Aku meladeni pertanyaan demi pertanyaannya seperti menyuapinya bubur ayam; ia tersenyum setiap kali aku menjawab pertanyaannya. Barangkali ia merasa yang paling cepat menghimpun informasi daripada penghimpun yang lain. Tetapi aku sangat benci melihat senyumnya.

Hingga beberapa hari kemudian aku tak menerima kabar apa pun dari kepolisian. Dan suatu sore hari Selasa, si wartawan terlihat menguntitku sampai ke rumah. Lalu aku menghampirinya dan ia terlihat canggung.

“Kau menguntitku malam itu dan hari ini kau menguntitku lagi?”

Ia tersenyum dengan leher terayun ke depan seperti anak ayam.

“Kalau tidak banyak membantu, kau boleh pergi.” Lanjutku.

“Bagaimana kalau istri Bapak memang dihendaki mati oleh laki-laki dalam Corolla itu?”

Perkataannya yang tiba-tiba, berhasil membuatku sejenak berpikir.

“Seperti kesaksian pertama Bapak, istri Anda berdiri kurang lebih empat langkah dari batas jalan sedangkan mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil itu berada di jalan yang lagi lurus-lurus saja dan saya rasa ia tak harus keluar dari badan jalan kecuali melaju cepat dan berhadapan dengan tikungan patah. Tikungan patah, jika pengemudi dalam kecepatan tinggi, ada kemungkinan memberikan efek kejut dan risikonya akan terpental ke kiri atau ke kanan. Tapi dalam kasus ini, ia hanya melaju di jalan yang lurus-lurus saja.”

“Kau pasti sudah mendengar kalau ia diduga mabuk.” Aku merespons.

“Betul. Tetapi ia sangat cepat melarikan diri. Orang mabuk hampir sama lambatnya dengan kura-kura. Bahkan lebih buruk.”

“Sejauh ini apa polisi sudah menemukan petunjuk si lelaki ataupun mobilnya?”

Ia menggeleng.

Aku mengumpat dalam hati. Kemudian meninggalkan wartawan itu dan kembali ke dalam rumah. Saat aku akan melewati ambang pintu wartawan itu berteriak menawarkan kesanggupannya membuat sketsa wajah. Tetapi aku tak ingin menggubrisnya. Si wartawan kuanggap orang yang baik. Ia lebih dari seorang wartawan. Nyaris menjadi detektif.

Maka aku terus mencari Corolla putih itu. Mengintip melalui celah-celah pagar rumah besar. Pada kebanyakan waktu aku juga mencarinya di parkiran mal dan gedung-gedung tinggi. Barangkali kawanan polisi juga sedang mencari mobil itu di semua tempat, tanpa tahu siapa yang harus dicari. Tetapi aku tak peduli pada kebaikan hati mereka. Aku punya jalanku sendiri.

Suatu hari, aku melihat sebuah sketsa wajah yang diperbanyak dan disebar di emper-emper toko. Dan di salah satu tiang terbuat dari besi yang menyangga papan nama toko, aku berdiri lama menilik wajah itu. Aku mengenalinya. Dan tanpa lama menunggu aku segera menghubungi nomor yang tertera di kanan bawah selebaran itu. Dan seseorang di balik sana mengangkatnya.

“Ini siapa?” Tanyaku.

“Halo, ini Masongko. Anda menelepon dari mana?”

“Bandung.”

“Maaf, saya hanya menerima panggilan kalau Anda sudah melihat selebaran.”

“Iya. Saya sudah melihatnya… itu saya. Saya bukan orang hilang. Anda ada perlu apa mencari saya?”

Itu adalah si wartawan.

“Kenapa kau mencariku lewat selebaran, Bodoh?”

“Sudah lima hari Anda tidak ada pulang. Lima kali saya bolak balik, Pak.”

Saat aku meneleponnya ia tengah berada di Jalan Kopo. Perasaanku agak lega ketika kemudian ia mengembuskan kabar baik bahwa ia telah menemukan Corolla putih yang kumaksud.

“Pelat nomor D 2013 BTA?” Aku memastikan.

“Iya.”

“Baik.”

Kusangkutkan lagi gagang telepon dan kemudian aku termenung sangat lama melihat hidupku yang seperti mimpi buruk. Menyangkut apa yang telah terjadi dan apa yang telah kurencanakan adalah mimpi yang lebih buruk bahkan dari kenangan kematianmu sendiri, Kekasih. Aku bisa membayangkan diriku jadi dinding, tiang, atau lalat dan melihat diriku dari luar: Aku tak lebih dari orang gila yang menyimpan dendam paling wajar. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk membalas segala perbuatan orang yang telah merusak jalan hidupku. Aku ingin melimpahkan penderitaanku kepada orang terdekatnya agar aku dapat mengenangmu dengan tenang. Hidup, kata orang, mesti saling menasihati walaupun dengan cara paling kejam.

Maka, jauh di belakang deretan toko-toko itu, aku mencegat angkot jurusan Ciparay. Kami—aku dan si wartawan—berjanji akan bertemu di alun-alun Ciparay.

Perjalanan mendekati satu jam dan angkot yang kunaiki mendadak berhenti karena menabrak seekor anjing. Si sopir berhenti dan menjorokkan kepalanya ke kaca dengan wajah bingung, mengintip anjing yang diteriakkan kakinya patah oleh seseorang dari pinggir jalan. Orang-orang mulai mendekat ke anjing yang malang itu. Sementara untuk sampai alun-alun aku mesti berjalan kaki empat ratus meter lagi. Sebenarnya aku terbiasa jalan kaki tetapi setidaknya aku perlu menyimpan sedikit tenaga. Maka aku turun dari angkot dan menginjak-injak kepala anjing yang sudah lemas itu dengan tumit sepatuku. Kutatap satu-satu mereka yang mengerumuni anjing itu. Kulebarkan tanganku agar mereka segera menyingkir dari sana, lalu kutarik kaki anjing malang itu dan kuempaskan ke pinggiran yang aman. Kemudian aku masuk lagi dan duduk di tempat semula.

“Jalan, Pak. Turunin saya di alun-alun.”

Masongko tiba di sana lebih awal. Ia sudah menungguku lima belas menit, dan kami segera meluncur ke tempat di mana Masongko melihat Corolla putih tempo hari.

“Bagaimana kau bisa menemukannya?” Tanyaku.

“Namanya juga rezeki wartawan muda.” Ia terkekeh. “Saya menguntitnya begitu saya lihat ia keluar dari Seurahem.”

“Seurahem?”

“Belum pernah dengar?”

Aku menggeleng.

Ia berjalan dan menuntunku ke salah satu sudut alun-alun. Di antara waktu yang ringkas menuju ke sana, ia berkata dan perkataannya sangat mengusik pikiranku, “Ini akan menjadi laporan peristiwa yang mengesankan.” Ia terkekeh lagi. Lalu kami keluar dari alun-alun itu dan menyeberang dan kemudian mengambil lorong yang menurun seperti perosotan.

“Rumah ketiga.” Katanya menunjuk ke sisi kanan dengan tangan yang direndahkan sepinggang.

Aku melihat Corolla putih itu di pekarangan yang dipagar, melihatnya seperti hantu masa lalu yang kuramal akan ringsek pada suatu hari yang miring. Dan, sebenarnya, aku terbiasa menjalani malam hari yang miring, tetapi aku tak boleh diganggu.

“Apa maksudmu ‘peristiwa mengesankan’ itu?” Tanyaku.

Aku tak menerima jawaban dari lidah Masongko yang tiba-tiba kelu. Kedua matanya melirik perutnya yang sudah kusasar sebilah pisau.

“Kau akan menghubungi polisi dan meliput penangkapan laki-laki itu? Itukah rencanamu? Kenapa kau membawaku kemari dengan rencanamu yang terdengar menjengkelkan itu? Kautahu, mengikuti rencanamu akan menghancurkan rencanaku.”

“Tapi Anda tak pernah memberitahu apa rencana Anda,”

“Kau akan mengacaukannya jika kuberitahu. Kau tahu selama ini aku hanya berusaha menemukannya. Dan kau tak bisa ikut campur rencanaku setelahnya.” Aku melihat mukanya tegang.

“Berikan telepon genggammu dan pulanglah. Besok jumpai aku di rumah.” Lanjutku.

Ia melenguh begitu pisau itu kuturunkan lalu mundur dan berbalik badan setelah tiga langkah. Ia berjalan cepat dan berkali-kali menoleh ke belakang. Aku terus mengawasinya dari kejauhan hingga akhirnya ia benar-benar pulang. Kupikir ia tak mengerti perasaanku. Ia hanya wartawan muda yang butuh banyak pencerahan.

Kuayun pisau itu ke sisi pinggangku dan lama aku termenung memikirkan apa yang telah kurencanakan. Hidupku seperti mimpi buruk. Dirasuk segala pikiran busuk dan menegangkan. Hidupku menegangkan saat orang-orang tak tahu tentang pikiranku yang dapat membahayakan mereka. Aku tahu banyak orang yang akan menderita karena perbuatanku. Tetapi aku tak dapat mengurungkan satu pun langkahku.

Kulinangkan air mataku saat kemudian kudekati pagar itu. Kuloloskan wajahku di celah pagar. Kusingkirkan rasa kasihanku dan kubuka pagar itu perlahan dan kubiarkan ia ternganga. Lalu kudekati Corolla putih itu. Kugores mobil itu dengan ujung pisau sepanjang aku melewatinya sebelum akhirnya sampai di pintu depan. Kubuka pintu itu dan kuloloskan diriku dan… kubiarkan diriku membabi buta.

Aku bisa membayangkan diriku jadi dinding, tiang, mobil, atau pagar dan melihat diriku dari luar yang perlahan-lahan mengubur penderitaan.

3.

Malam itu kau berkesah kalau ada sepasang kecoa yang mengajak anak kita bicara. Dimana? Aku bertanya.

“Di balik rambutku.” Katamu.

“Mereka bilang apa?”

“Mereka mengajak anak kita melihat-lihat langit.”

“Kautahu, kan, kalau kecoa tidak pernah menjadi kawan yang baik bagi manusia?”

“Tetapi anak kita menyukai obrolan tentang langit. Dengarlah, kecoa-kecoa ini menyaraniku melihat-lihat langit agar anak kita terlahir sehat.”

“Kecoa-kecoa itu juga mengajakmu bicara?”

Kau terkekeh melihatku mendengar omonganmu dalam keadaan setengah sadar.

Lalu kita keluar pada pukul dua pagi, dan kubawa kau ke tengah jalan melihat-lihat langit. Kubawa kau ke tengah sawah. Kubawa kau ke warung membeli obat pembasmi agar kau segera memberitahu kecoa-kecoa itu kalau waktu jalan-jalan sudah habis.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Artikel Terbaru

Gelar Upacara HUT RI Ke-79, Ini Pesan Pimpinan Pesantren Al Manar untuk Guru dan Santri

Aceh Besar – Pesantren Modern Al Manar melaksanakan upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79...

Lebih Banyak Artikel Seperti Ini