Karya: Rizka Aizila
Santriwati Kelas IV Pesantren Modern Al Manar
“Memangnya anak seperti kamu bisa sukses?” Suara bentakan itu menggema di ruangan yang sempit. “Kerjamu cuma bikin orang tua susah saja!”
Hening. Seisi kelas terdiam. Mata-mata mulai tertuju pada mereka, mengamati dengan penuh perhatian. Alya, gadis yang menjadi sasaran bentakan itu, hanya bisa bungkam. Hatinya terasa sesak, pikirannya berkecamuk. Benarkah apa yang dikatakan ibunya?
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Hatinya remuk. Ibunya memarahinya dengan keras di hadapan banyak orang.
“Ibu, a… aku minta maaf. Jangan marah lagi, ya, Bu. Na… nanti Alya janji kok, un—”
“Untuk apa? Untuk nyusahin saya lagi?” Bentakan itu kembali mengiris hatinya.
Kini, segalanya benar-benar terasa hancur. Ibunya menyebut dirinya dengan kata saya. Untuk pertama kalinya, jarak itu terasa begitu nyata. Isakan Alya semakin jelas terdengar. Ia tak sanggup lagi menahan kesedihannya.
Hari ini seharusnya menjadi awal semangat baru untuknya. Namun, harapan itu telah pudar. Ibunya, yang diharapkannya menjadi penyemangat, justru menghancurkan hatinya dengan kata-kata yang tak seharusnya diucapkan. Hari ini adalah hari pembagian rapor. Tapi, ibunya memilih untuk memarahinya di depan umum.
“Bu… maafkan aku…” suaranya bergetar, berusaha meredam tangis.
Namun, hatinya terlalu sakit.
“Hari ini, saya kecewa padamu. Kamu tidak akan mendapatkan uang jajan selama satu tahun. Dan selama itu juga, saya tidak akan menjengukmu.” Sang ibu terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih menyakitkan, “Dan satu lagi, jangan panggil saya ibu lagi.”
Tanpa menoleh lagi, ibunya melangkah pergi, meninggalkan Alya yang kini berdiri di tengah tatapan penuh belas kasihan dari orang-orang di sekelilingnya.
Perlahan, Alya memungut rapor yang tadi dilempar ibunya ke lantai. Dengan langkah gontai, ia berjalan kembali ke asrama, membawa hati yang hampa.
Sesampainya di asrama, seorang teman menghampirinya. “Alya, tadi itu ibumu, kan? Kenapa beliau tega melakukan hal sekasar itu kepadamu?”
Alya terdiam sesaat. Ia menahan napas, mencoba mengumpulkan kekuatan sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Ah, ibuku hanya bercanda. Beliau sebenarnya orang yang baik.”
Di balik kata-katanya, hatinya seolah ditusuk ribuan jarum. Ia hanya ingin menutupi luka yang semakin dalam.
Waktu terus berlalu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Lima bulan telah lewat. Semua yang dikatakan ibunya benar-benar terjadi. Ibunya tidak pernah menjenguk, tidak pernah mengirim uang, seakan-akan ia bukan lagi anaknya. Namun, Alya tidak ingin menyerah. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya pantas untuk dibanggakan.
Ia belajar dengan tekun, tak peduli apa yang terjadi di sekitarnya. Waktu terus berjalan hingga akhirnya, hanya tersisa satu minggu sebelum ujian semester dimulai.
“Apa kamu tidak lelah belajar terus-menerus?” tanya Shofi, teman dekatnya.
Alya tersenyum kecil. “Aku ingin benar-benar berusaha. Aku ingin membanggakan orang tuaku.”
Shofi terdiam. Hatinya terasa sesak mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Ia menatap Alya penuh iba, lalu memilih untuk tidak melanjutkan pembicaraan.
Saat ujian berlangsung, Alya tak pernah lelah belajar dan beribadah. Hingga akhirnya, tibalah hari yang paling ia takuti—hari pembagian rapor.
Pagi itu, seluruh santri berkumpul di masjid. Suara para wali santri terdengar riuh. Alya berharap ibunya datang. Namun, harapan itu sepertinya sia-sia. Ia tak kunjung melihat sosok yang dinantikannya.
Tiba-tiba, seseorang memanggil namanya. Ia menoleh. Wajah itu… Wajah yang selalu membuatnya resah dan takut. Namun, hari ini berbeda. Tatapan itu tidak lagi mengancam, melainkan penuh kerinduan.
Air matanya jatuh lagi.
Suara mikrofon terdengar. Kata sambutan untuk para wali santri mengalun dengan penuh kelembutan. Setelah itu, tibalah saat yang dinanti—pengumuman juara.
Alya menunduk, hatinya cemas. Namanya belum juga disebut.
Ya sudahlah. Tidak apa-apa. Toh, kata Ibu juga aku memang tidak bisa apa-apa… batinnya.
“Juara umum tahun ini jatuh kepada… Alya Nabila, dengan nilai rata-rata 8,95!”
Alya tertegun. “Apa? Alhamdulillah!”
Bahagia, ia berlari naik ke panggung. Terlalu buru-buru, ia melompat lima anak tangga sekaligus.
“BRAK!”
Dentuman keras itu membuat seluruh isi masjid menoleh. Pandangan Alya mulai kabur. Orang-orang mengerumuninya. Kepalanya terasa sakit. Hingga akhirnya, gelap.
Alya pingsan.
Tanpa sepengetahuan ibunya, pihak pesantren segera membawanya ke rumah sakit.
“Mana Alya? Mengapa ia belum turun ke sini?” tanya ibunya, mulai merasa gelisah.
MC kemudian meminta perwakilan untuk maju menerima penghargaan atas nama Alya. Sang ibu melangkah ke depan dengan hati yang semakin berdebar.
Setelah acara usai, ia mendapat kabar bahwa Alya dilarikan ke rumah sakit karena terjatuh. Tanpa berpikir panjang, ia segera menuju rumah sakit bersama beberapa pengurus pesantren.
Saat tiba di sana, ia langsung menuju kamar Alya. Tubuh anaknya tampak lemah. Nafasnya tersengal.
“Alya, bangun, Nak…” bisiknya, penuh harap.
Perlahan, Alya membuka matanya. Pandangannya buram, tetapi ia masih bisa mengenali wajah yang begitu dirindukannya.
“Ibu… Alya nggak apa-apa kok… Alya senang bisa mewujudkan keinginan Ibu. Ibu tahu nggak? Aku rindu sekali sama Ibu… Maafkan aku, ya, Bu…”
Tangis ibunya pecah. Ia menggenggam erat tangan anaknya.
“Alya, jangan bicara seperti itu. Ini semua salah Ibu, bukan salahmu, Nak… Ibu menyesal…”
Alya tersenyum lemah, jemarinya yang kecil semakin erat menggenggam tangan ibunya.
“Bu, aku punya permintaan. Tolong kabulkan, ya?” Suaranya semakin lirih.
“Apa, Nak? Ibu akan lakukan apa saja untukmu…”
“Ibu… bahagia, ya? Dan ingat selalu wajah Alya…”
Ibunya terisak, rasa bersalah mengoyak hatinya. Dengan lirih, ia berbisik, “Alya, kamu bisa dengar Ibu, kan?”
Tit… tit… tit… (bunyi monitor EEG – Elektroensefalografi di rumah sakit)
Tangisnya pecah. Ia memeluk tubuh kecil itu, merasakan kehangatan yang kini terasa begitu jauh.
“Alya…”
Selesai.